Senin, 08 September 2014

Padang Bulan

Padang Bulan
by. Andrea Hirata
Membaca novel-novel Andrea Hirata selalu bisa membuat saya terhanyut dan senyum-senyum sendiri. Seperti dalam Mozaik 10 –Ulang Tahun, cerita ini membuat saya geli dibuatnya saat Ikal kecil dan kawan-kawannya memperdebatkan apa ulang tahun itu. Perkara ulang tahun adalah gelap bagi mereka, anak-anak Melayu melarat yang udik di kampung paling timur di pulau terpencil Belitong itu. Maka perdebatan lucu seputar ulang tahun pun dimulai.

Karena mulutku cerewet, Syahdan menjelaskan---sambil malas-malasan---bahwa ulang tahun adalah acara untuk memperingati arwah seorang pencipta lagu. Arwah gentayangan itu---katanya acuh tak acuh---baru bisa disuruh pulang ke alam baka setelah diberi kue yang di atasnya dipasangi lilin merah dan lagi ciptaannya dinyanyikan bersama-sama. Borek, yang berotot dan selalu ngotot---meskipun selalu salah---langsung mendebat Syahdan. Katanya, ulang tahun justru acara untuk menghormati arwah pencipta kue bertingkat-tingkat dan lilin merah bernomor itu. Syahdan tersinggung.
“Dari mana kau dapat kabar bohong itu!?”
Borek tergagap-gagap, karena tadi jelas ia hanya mengarang-ngarang, namun ia tak mau kalah. Ia mencoba memojokkan Syahdan.
“Kalau begitu, mengapa hanya orang Tionghoa yang merayakan ulang tahun, kita tidak?!”
Syahdan bangkit.
“Sebab pencipta lagu itu berasal dari Taiwan!”
“Na! itu baru bohong. Dia bukan orang Taiwan, dia adalah orang Madagaskar! Kalau kau mau tahu!”

Ya, ya. Bagian inilah yang membuat saya geli setengah mati. Terutama pada bagian Madagaskar. Mengapa urusan ulang tahun sampai Madagaskar tersangkut pula, bisa-bisanya cerita satu ini. Sukses membuat saya tertawa.

Meskipun ceritanya membuat saya terhanyut tapi dalam Padang Bulan ini sebenarnya saya bingung sangkut pautnya antara cerita Enong dan Ikal. Keduanya seolah berbelit tapi tidak nyambung. Keduanya bercerita tentang cinta tapi dengan kisah cinta sendiri-sendiri yang berbeda. Ikal nampak jelaslah kegalauannya perasaan cintanya pada Aling yang masih menggantung. 

WAKTU yang hakikat.
Bagi para pesakitan, waktu adalah musuh yang mereka tipu saban hari dengan harapan. Namun, di sana, di balik jeruji yang dingin itu, waktu menjadi paduka raja, tak pernah terkalahkan.

Bagi para politisi dan olahragawan, waktu adalah kesempatan yang singkat, brutal, dan mahal.

Para seniman kadang kala melihat waktu sebagai angin, hantu, bahan kimia, seorang putri, payung, seuntai tasbih, atau sebuah rezim. Salvador Dali telah melihat waktu dapat meleleh.

Bagi para ilmuwan, waktu umpama garis yang ingin mereka lipat dan putar-putar. Atau lorong, yang dapat melemparkan manusia dari masa ke masa, maju atau mundur.

Bagi mereka yang terbaring sakit, tergolek lemah tanpa harapan, waktu mereka panggil-panggil, tak datang-datang.

Bagi para petani, waktu menjadi tiran. Padanya mereka tunduk patuh. Kapan menanam, kapan menyiram, dan kapan memanen adalah titah dari sang waktu yang sombong. Tak bisa diajak berunding. Tak mempan disogok.

Bagi yang tengah jatuh cinta, waktu mengisi relung dada mereka dengan kegembiraan, sekaligus kecemasan. Karena teristimewa untuk cinta, waktu menjelma menjadi jerat. Semakin cinta melekat, semakin kuat waktu menjerat. Jika cinta yang lama itu menukik, jerat itu mencekik.


Heranlah saya dengan yang namanya Cinta itu mampu membuat seseorang ‘gila’ tergila-gila. Saya gemas dengan Ikal, karena cintanya pada Aling ia sampai bertengkar dengan ayahnya dan membatalkan perjalanannya yang tinggal selangkah untuk interview ke Ibukota. Demi cinta yang tak jelas muaranya itu ia rela nganggur, padahal dalam novel Edensor diceritakan Ikal pernah sekolah ke Eropa bukan? 

Saya juga bingung usia berapa Ikal dalam cerita Padang Bulan ini. Karena ia memberikan sebuah puisi buatannya semasa kecil yang tak sempat ia berikan pada Aling dengan malu-malu, persis seperti anak ABG, hehehe

Ada komidi putar di padang bulan
Kutunggu Ayahku
Akan kurayu agar mengajakku nanti petang
Nanti petang, Kawan, ada komidi putar di Padang Bulan
Ada kereta kuda
Ada selendang berenda-renda
Ada boneka dari India

Komidi berputar pelan
Lampu-lampunya dinyalakan
Komidi melingkar tenang
Hatiku terang
Terang benderang menandingi bulan

Ayah, pulanglah saja sendirian
Tinggalkan aku
Tinggalkan aku di Padang Bulan
Biarkan aku kasmaran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar